Pemerintah masih terus membahas tentang substansi teknis Omnibus Law untuk Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.

Demo Buruh: Berikut Polemik Omnibus Law, dari Upah Per Jam hingga Pemutusan Hubungan Kerja

ANALITIK.ID- Pemerintah masih terus membahas tentang substansi teknis Omnibus Law untuk Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. 

Omnibus Law adalah sebuah konsep pembentukan undang-undang utama untuk mengatur masalah yang sebelumnya diatur sejumlah UU atau satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU. 

Konsep ini muncul dalam pidato Presiden Jokowi saat pelantikannya sebagai Presiden RI periode 2019-2024. Akan tetapi, proses perancangan Omnibus Law ini juga menemui perdebatan alot pada sejumlah poin di kluster tertentu.

Bahkan, pada hari ini ribuan buruh melakukan demo menolak adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja di Jakarta. Adapun kluster di dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja berjumlah 11, yaitu: 

Penyederhanaan izin 

Persyaratan investasi 

Ketenagakerjaan 

Kemudahan dan perlindungan UMKM

Kemudahan berusaha

Dukungan riset dan inovasi 

Administrasi pemerintahan 

Pengenaan sanksi 

Pengadaan lahan 

Kemudahan proyek pemerintah 

Kawasan ekonomi 

Kerja Berikut adalah sejumlah poin di dalam kluster-kluster tersebut yang menuai perdebatan: 

1. Peraturan upah per jam Salah satu poin utama yang menjadi perdebatan dan ditolak oleh para buruh adalah tentang upah minimum. Dalam poin ini, dampak terburuk yang dikhawatirkan akan langsung dirasakan oleh para buruh adalah hilangnya upah minimum.

Pasalnya, pemerintah berniat untuk menerapkan sistem upah per jam. Dengan kata lain, apabila pekerja bekerja kurang dari 40 jam seminggu, upah yang diterima akan berada di bawah upah minimum. 

Sementara, pemerintah beralasan, apabila upah per jam tidak diatur, maka pekerja tidak dapat memperoleh perlindungan upah. 

Namun, melansir Kompas.com (17/1/2020), pemerintah memastikan bahwa upah minimum tenaga kerja tidak turun. Draft substansi Omnibus Law ini juga menyebutkan bahwa upah minimum yang ditentukan oleh pemerintah ini hanya berlaku untuk pekerja baru atau kurang dari satu tahun. 

2. Kemudahan TKA masuk Indonesia Omnibus Law juga disebut bakal merevisi aturan tentang perekrutan tenaga kerja asing (TKA). 

Aturan yang dimaksud terutama adalah mengenai perizinan agar para pekerja asing tersebut dapat masuk tanpa melalui birokrasi yang panjang. Melansir Kompas.com (26/12/2019), sebagaimana kemudahan perizinan dan perpajakan terhadap TKA, hanya saja kemudahan tersebut akan dibatasi dengan sejumlah mekanisme. 

Sebelumnya, terkait dengan TKA, Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003, telah dijelaskan sejumlah persyaratan. Salah satunya adalah TKA hanya diperbolehkan bekerja untuk pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu. 

Sementara, apabila tidak memiliki keterampilan khusus (unskilled workers), tidak diperbolehkan untuk bekerja di Indonesia. 

3. Pemutusan hubungan kerja dan pesangon Dalam Omnibus Law, muncul sebuah istilah baru, yaitu tunjangan PHK. Tunjangan ini besarnya mencapai 6 bulan upah. 

 Adapun program yang dimaksud adalah Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja yang terkena PHK. Sebelumnya, masalah pesangon bagi buruh yang terkena PHK telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. 

Aturan baru dalam Omnibus Law dinilai akan menghilangkan pesangon yang telah diatur sebelumnya. Tunjangan PHK hanya 6 bulan upah, sedangkan di aturan sebelumnya, buruh berhak memperoleh hingga 38 bulan upah lebih. 

Selain itu, jaminan sosial juga dikhawatirkan hilang dengan adanya sistem kerja yang fleksibel. 

4. Risiko krisis ekologi Rencana pemerintah untuk memudahkan investasi melalui Omnibus Law dinilai beberapa pihak akan memperparah krisis ekologi dan meningkatkan risiko bencana terkait iklim. 

Mengutip Harian Kompas, 11 Januari 2020, Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodiharjo mengungkapkan potensi semakin buruknya krisis ekologi dan konflik sosial akibat rencana mempermudah investasi ini. 

"Fakta lapangan banyak tumpang tindih izin usaha sumber daya alam dengan kehutanan. Jadi, penerbitan izin yang benar mestinya tidak bisa dipercepat," tutur Hariadi. 

Menurutnya, ada tujuh poin yang perlu dikritisi dalam hal perizinan dan investasi ini, yaitu teminologi izin lingkungan yang dihilangkan dan tidak menjadi syarat penerbitan usaha. Kemudian, pengaturan ulang mekanisme penilaian Amdal. 

Hariadi mengungkapkan bahwa hal-hal ini rentan akan konflik kepentingan. (*)


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Didemo Buruh: Berikut Polemik Omnibus Law, dari Upah Per Jam hingga Krisis Ekologi", https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/20/152357465/didemo-buruh-berikut-polemik-omnibus-law-dari-upah-per-jam-hingga-krisis?page=all#page2.

Presiden Minta 'Omnibus Law' Selesai Pekan Ini


Artikel Terkait