Studi para ilmuwan dari Duke University menemukan beberapa jenis bahan masker buatan sendiri justru bisa lebih mendatangkan risiko dibanding manfaatnya.

Hasil Studi: Jenis Bahan Masker Tertentu Berpotensi Lebih Berbahaya

ANALITIK.CO.ID - Berita Nasional yang dikutip ANALITIK.CO.ID tentang jenis bahan masker tertentu berpotensi lebih berbahaya.

Studi para ilmuwan dari Duke University menemukan beberapa jenis bahan masker buatan sendiri justru bisa lebih mendatangkan risiko dibanding manfaatnya. 

Hasil ini didapat dari penelitian dengan mendemonstrasikan teknik sederhana yang dirancang untuk menguji kemanjuran kain dan desain masker untuk mengurangi penyebaran droplet virus corona.

Masker wajah telah menjadi kebutuhan kesehatan wajib dalam keseharian masyarakat di tengah pandemi Covid-19. 

Prioritas masker medis dan N95 untuk tenaga medis membuat masyarakat umum didorong untuk menggunakan masker kain.

Idealnya, masker wajah buatan sendiri harus memiliki dua hingga tiga lapisan. 

Tapi jika tidak ada yang lebih baik dari itu, otoritas kesehatan di seluruh dunia menyarankan alternatif penutup seperti syal, bandana atau bulu leher.

"Masker atau penutup wajah apapun lebih baik dari pada tidak menggunakan sama sekali," kata beberapa ahli seperti dilansir dari New Atlas.

Penelitian secara mencolok menemukan beberapa bahan alternatif masker justru bukan saja menawarkan perlindungan yang minim, melainkan juga berpotensi lebih berbahaya daripada tidak mengenakan penutup wajah sama sekali.

Studi ini berawal ketika Eric Westman dari Duke University School of Medicine tengah mencari dan memilah masker wajah mana yang harus dibeli untuk membantu komunitas lokal kelompok rentan. 

Ia sadar penuh bahwa pasar sesak akan pelbagai produk yang membuat klaim bombastis tapi tanpa proses pengujian verifikasi efektivitas masker.

Lantas Westman meminta bantuan rekannya, Martin Fischer yang juga Direktur Fasilitas Pencitraan dan Spektroskopi Cahaya Lanjutan di universitas yang sama. 

Dengan sejumlah bahan di laboratorium umum, para peneliti mengembangkan sistem yang murah dan sederhana untuk menguji efektivitas beberapa bahan masker dalam memblokir percikan liur atau droplet pada percakapan normal.

Fischer menjelaskan, untuk membuktikan konsep pengujian dengan teknik baru ini, para peneliti mengetes sejumlah masker dan alternatif masker yang umum. 

Tes ini melibatkan pembicara yang mengenakan masker dan terlibat obrolan dengan tetap memakai masker seraya mengulang frasa "tetap sehat, semuanya" selama 10 detik.

Sementara laser menyinari tetesan yang masuk melalui masker.

"Kami memastikan bahwa ketika orang berbicara, tetesan kecil keluar, sehingga penyakit dapat menyebar dengan berbicara, tanpa batuk atau bersin," ungkap Fischer.

"Kami juga dapat melihat bahwa beberapa penutup wajah bekerja jauh lebih baik dibanding yang lainnya dalam memblokir partikel yang keluar," lanjut dia lagi.

Tak heran, jika masker N95 yang diuji mendapatkan hasil yang paling efektif dalam mengurangi tetesan droplet dibanding masker bedah. 

Tapi sebagian masker buatan sendiri--berbahan cotton yang diuji juga menunjukkan hasil yang baik dalam memblokir droplet dengan kecepatan tak jauh dari hasil uji masker bedah.

Pakai Syal Leher atau Bandana Sama dengan Tak Menggunakan Masker

Tapi sayangnya, tidak semua jenis bahan masker efektif mengurangi paparan droplet atau percikan liur. 

Kain rajutan dan bandana sangat lemah dalam mengurangi volume tetesan dari orang yang bicara.

Namun begitu hasil dari pengujian bulu leher, yang juga dikenal sebagai pelindung atau penghangat kaki adalah yang paling mengejutkan para peneliti.

"Gagasan bahwa, apapun lebih baik digunakan untuk menutup daripada tidak sama sekali, jadi tak berlaku," ungkap Westman yang membahas mengenai hasil uji bulu leher.

Ia pun menerangkan, jumlah partikel yang dipancarkan ketika memakai bulu leher terlihat serupa dengan ketika pengujian dasar tanpa memakai masker sama sekali.

Penelitian yang diterbitkan di jurnal Science Advance itu lantas menyimpulkan, pemakaian masker jenis tersebut mungkin pada akhirnya akan kontraproduktif lantaran dapat menyebabkan risiko penularan yang lebih besar dibanding tak memakai masker.

Namun begitu peneliti menyatakan, kesimpulan ini masih bersifat hipotesis dan penelitian tidak secara eksplisit membuktikan bahwa mengenakan bulu leher dapat meningkatkan penularan virus. 

Sebaliknya, penelitian menunjukkan koreksi atas pernyataan yang sering diutarakan: lebih baik memakai apapun daripada tidak sama sekali.

Penting dicatat bahwa studi mengenai transmisi tetesan jenis ini hanya menyelidiki sifat fisik droplet yang keluar dari mulut saat orang berbicara. 

Sejauh ini, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penelitian dapat digunakan menarik kesimpulan tentang penularan virus.

Keterbatasan lain studi ini adalah, ketidakmampuan set-up pengujian untuk mendeteksi partikel aerosol terkecil. 

Kesamaan bahan dalam pengujian, termasuk kamera telepon pintar, alat perekam, membuat tetesan aerosol kecil tidak dapat diukur.

Fischer pun menyarankan, perlu lebih banyak penelitian atau kerja-kerja untuk memahami jenis masker apa yang optimal dalam realitas baru Covid-19 ini. 

Dalam jangka pendek, ia berharap metode sederhana yang dikembangkan Duke University ini dapat dengan mudah digunakan atau duplikasi oleh produsen masker untuk menguji produk yang mereka kembangkan.

"Ini hanya demonstrasi sederhana, masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menyelidiki variasi masker, orang yang berbicara, dan bagaimana orang memakainya. Tetapi tes semacam ini dapat dilakukan dengan mudah oleh bisnis atau pihak penyedia masker," kata Fischer. (*)

Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Studi: Jenis Masker Tertentu Justru Bisa Lebih Membahayakan", https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200811114159-284-534421/studi-jenis-masker-tertentu-justru-bisa-lebih-membahayakan


Artikel Terkait