Sebuah bukit di muara Sungai Mahakam jadi jejak sejarah Tionghoa di Kalimantan Timur. Peristiwa itu terjadi pada tujuh abad silam.

Berawal dari Menjahit Layar, Menelusuri Jejak Etnis Tionghoa di Kalimantan Timur

ANALITIK.ID- Sebuah bukit di muara Sungai Mahakam jadi jejak sejarah Tionghoa di Kalimantan Timur. Peristiwa itu terjadi pada tujuh abad silam. 

Kala itu, para saudagar dari Tionghoa menjahit layar kapal di perbukitan itu. Tempat itu kemudian dinamakan Jaitan Layar oleh Aji Batara Agung Dewa, pendiri Kerajaan Kutai Kertanegara. 

"Jejak itu kemudian merekam etnis Tionghoa di Kalimantan Timur," ungkap sejarawan Lokal Muhammad Sarip menceritakan jejak sejarah etnis Tionghoa di Kalimantan Timur kepada Kompas.com, Jumat (25/1/2020) malam. 

Memasuki abad ke-19, Hindia Belanda masih menguasai wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Etnis Tionghoa diberi tempat mendirikan pemukiman di Samarinda. Lokasi Samarinda kala itu jadi pusat bandar Kerajaan Kutai. 

Samarinda juga jadi titik pertemuan para pedagang dari arah hulu Mahakam dan dari luar timur Kalimantan. Etnis Tionghoa bermukim sepanjang tepi Sungai Mahakam dari arah timur muara Sungai Karang Mumus ke arah barat Samarinda. 

"Daerah Pecinan," terang Sarip. Penempatan etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi oleh Belanda dibuat dikotomi ala politik pecah belah (devide et impera). 

Karena letak pemukiman Pecinan lebih strategis dari sisi ekonomi, membuat etnis Tionghoa lebih mapan ketimbang masyarakat pribumi. Hal ini membuat masyarakat pribumi yang bermukim di sebelah barat Pecinan cemburu. 

Hubungan keduanya sempat tak harmonis. Seiring berjalan waktu, lahir sebuah kongsi dagang di masyarakat pribumi. Namanya, Handel-maatschaappij Borneo atau dikenal HBS. Kongsi dagang ini kemudian bermitra baik dengan Organisasi Serikat Islam (SI). 

Dari situ mulai tercipta persaingan dagang sehat masyarakat pribumi dengan etnis Tionghoa. Kolonialisme Belanda sempat diambilalih Jepang tatkala situasi Asia Tenggara dan Hindia Belanda pada 1941 yang diliputi Perang Pasifik. 

Jepang hadir menggantikan Belanda di Samarinda sejak 3 Februari 1942. Tiga tahun kemudian, Belanda kembali ingin mengambil alih Samarinda. Tetapi, terjadi perlawanan melalui Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di Samarinda. Etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi bergabung dalam barisan perlawanan ini. 

"Go Sek Lim dan Go Sian Kwan adalah dua tokoh etnis Tionghoa yang gigih melawan penjajah saat itu," beber Sarip. 

Kedua tokoh ini bahkan mendapat sertifikat pengakuan pejuang kemerdekaan Indonesia oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Kota Samarinda. Memasuki tahun 1965, ketika pecah peristiwa 30 September atau disingkat G30S PKI hubungan etnis Tionghoa dan masyarakat pribumi kembali memanas termasuk Samarinda, Kaltim. 

Rezim Orde Baru memarjinalkan etnis Tionghoa lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 melarang segala hal yang bercorak Tionghoa. 

"Waktu itu, perayaan Tahun Baru Imlek tidak boleh di ruang publik," kata Sarip. 

Namun, pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid mencabut regulasi itu. Semua tradisi Tionghoa diterima sebagaimana mestinya warga negara Indonesia. Kong Hu Cu diresmikan sebagai satu di antara agama resmi dalam NKRI. 

Ritual Imlek di muka umum diperbolehkan. Sejak itu, etnis Tionghoa menjadi bagian integral bangsa Indonesia dalam memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. (*)


Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Menelusuri Jejak Etnis Tionghoa di Kalimantan Timur, Berawal dari Menjahit Layar ", https://regional.kompas.com/read/2020/01/25/11042841/menelusuri-jejak-etnis-tionghoa-di-kalimantan-timur-berawal-dari-menjahit?page=all#page2.


Artikel Terkait