Tepat 17 Agustus 2020, Republik Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75.

Rasakan Makna 'Merdeka' Sesungguhnya, Ini Kata Sejumlah Atlet indonesia

ANALITIK.CO.ID - Berita Nasional yang dikutip ANALITIK.CO.ID tentang makna merdeka sesungguhnya.

Tepat 17 Agustus 2020, Republik Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-75. 

Namun sejumlah atlet belum benar-benar merasakan makna 'merdeka' sesungguhnya.

Lifter nasional, Eko Yuli Irawan, peraih perak di Olimpiade Rio de Janeiro 2016, mengutarakan keluh kesahnya.

Sebagai seorang olimpian, Eko merasa belum merdeka lantaran merasa ada yang belum sempurna soal pembinaan atlet di Indonesia. 

Misalnya, penerapan kuota atlet berprestasi harus dibatasi karena keterbatasan dana pemerintah.

"Kemerdekaan untuk mendapatkan kesempatan yang sama bagi semua atlet berprestasi, termasuk yang di daerah untuk ikut ambil bagian dalam seleksi dan bersaing di pelatnas ini yang menurut saya belum terjadi," kata Eko dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (14/8).

Eko mencontohkan dalam Surat Keputusan (SK) tahun ini, hanya 13 atlet yang bisa masuk pelatnas. 

Jumlah itu pun harus mencakup atlet senior, remaja, sampai level pratama.

Sedangkan kebutuhan mendesak adalah persiapan menuju Olimpiade 2020 Tokyo. 

Menurut Eko, pemerintah pusat seharusnya bisa membedakan kepentingan kebutuhan pelatnas untuk masing-masing event yang bakal diikuti dengan SK yang berbeda.

"SK untuk yang akan ikut di event internasional dan yang jangka panjang juga harus dibedakan. Kebutuhannya kan beda. Kita butuh prestasi, tapi di sisi lain butuh regenerasi juga."

"Kalau digabungkan SK semuanya, jadi bingung. Atlet senior yang mungkin bisa bersaing jadi dikalahkan slotnya untuk kuota remaja. Yang remaja ini kan masih jauh, belum bisa bersaing sama yang senior. Ibaratnya, anak SD bersaing sama anak SMA, kan jauh," ungkapnya.

Tak hanya itu, Eko juga menilai atlet berprestasi belum merdeka secara finansial. 

Ia mempertanyakan dana pensiun buat atlet peraih medali Olimpiade dari pemerintah pusat yang selama ini baru diterima sekali pada 2016.

Eko mengapresiasi usaha pemerintah yang memberikan bonus besar bagi atlet peraih medali di setiap ajang multievent yang membawa nama harum negara. 

Namun, ia berharap pemerintah tidak melupakan jaminan pensiun.

Eko yang pernah meraih medali emas SEA Games 2007 juga mempertanyakan status PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang menyamaratakan golongan antara peraih medali di SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.

"Peraih medali Olimpiade dan SEA Games misalnya sama-sama dapat PNS, tapi ujung-ujungnya dilihat ijazah terakhir. Sementara untuk jadi atlet berprestasi di Olimpiade, perjuangannya harus mengorbankan sekolah untuk fokus latihan."

"Saya pernah ngobrol dengan Butet [Liliyana Natsir, peraih medali emas Olimpiade 2016], kami sama. Alangkah baiknya, jika tunjangan hari tua yang sempat diberikan pada 2016 itu dilanjutkan. Itu sebagai penghargaan buat kami peraih medali di Olimpiade dari negara. Karena perjuangan di Olimpiade itu berbeda," ujar Eko.

Sementara itu, gelandang Timnas Indonesia, Bayu Pradana yang juga pemain Barito Putera menyebut kemerdekaan belum komplet dirasakannya karena belum bisa mempersembahkan gelar juara.

Sebagai pemain Timnas, prestasi terbaik yang pernah dipersembahkan Bayu buat negara yakni menjadi runner up Piala AFF 2016 lalu.

"Buat saya, merdekanya belum komplet karena belum pernah membawa Indonesia juara. Mau itu juara Piala AFF, SEA Games dan lain-lain belum. Terdekat ini kan Piala AFF, Siapapun pemainnya, pelatihnya enggak jadi masalah yang penting Timnas bisa berprestasi sepak bola kita lebih baik. Sebagai pelaku saya ikut bangga. Lebih puas lagi, kalau saya bisa terlibat saat jadi juara itu," sebut Bayu.

Pengamat sepak bola nasional, Tommy Welly atau yang akrab disapa Towel menambahkan, kemerdekaan bagi seorang pesepakbola profesional belum terlihat ketika mereka masih bermasalah dengan kontrak kerja. 

Bahkan, ketika terjadi pelanggaran kontrak, pemain justru memilih diam karena takut berdampak buruk bagi kariernya.

"Pesepakbola ini belum merdeka dalam mendapatkan hak jika terjadi sesuatu masalah terhadap kontrak. Tak jarang isi kontrak tidak sama dengan kenyataannya, tapi pemain itu tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Towel.

Kebanyakan pesepakbola Indonesia, lanjut Towel, masih berpikiran takut kalau masuk ke ranah hukum untuk menuntut hak akan berdampak pada kehilangan pekerjaan ke depannya. 

Kehadiran National Dispute Resolution Chamber (NDRC) pada 2017 dianggap belum bisa mengedukasi pemain untuk bisa memperjuangkan haknya.

"Ada kekhawatiran psikologis yang dipengaruhi pengalaman masa lalu dan budaya yang menyebabkan ketakutan mereka untuk memerdekakan haknya. Mereka jadi tidak berani bertindak," terangnya.

Menurut Towel, untuk memerdekakan hak pesepakbola diperlukan pembenahan mulai dari atas, baik itu PSSI, LIB sebagai operator kompetisi sampai ke klub. 

Stakeholder sepak bola harus menciptakan iklim profesional supaya pemain bisa teredukasi.

"Selama mereka masih takut bicara apa yang benar dan baik, bisa dibilang mereka belum merdeka," sebutnya.

Sementara itu, Sesmenpora Gatot S Dewa Broto tidak membantah bahwa saat ini atlet di Indonesia belum sepenuhnya memperoleh hak kemerdekaan. 

Meski begitu, bukan berarti negara abai terhadap hak dan kemerdekaan atlet.

Negara, menurut Gatot sudah berusaha semaksimal mungkin untuk berusaha memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada atlet. 

Buktinya, lanjur Gatot, dalam lima tahun terakhir baik di era Imam Nahrawi maupun Zainudin Amali sebagai Menpora, apresiasi kepada atlet kadang mampu membuat iri profesi lain.

Bonus yang diberikan negara cukup besar bagi peraih medali di berbagai ajang multievent internasional, mulai dari SEA Games, Asian Games hingga Olimpiade. 

Masyarakat juga dianggap Gatot sudah sadar bahwa para atlet telah berjuang keras untuk bisa membawa harum nama bangsa di kancah dunia.

"Bendera masing-masing negara dan lagu kebangsaan hanya diperdengarkan syaratnya dua, saat kepala negara ada kunjungan kenegaraan dan atau pada saat seorang atlet meraih medali emas di event internasional. Wajar kalau atlet harus mendapatkan tempat tersendiri. Betapa tingginya apresiasi negara untuk atlet," kata Gatot.

"Baru lima tahun bonus yang kami berikan jor-joran luar biasa, Olimpiade, Asian Games, SEA Games. Kami sudah memberikan klasifikasi semakin tinggi raihan, semakin tinggi bonus dan tidak akan berkurang di tahun-tahun selanjutnya," imbuhnya.

Sementara soal status PNS yang didapatkan bagi atlet berprestasi, Gatot mengatakan hal itu diatur oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. 

Begitu juga dengan dana pensiun bagi atlet yang pernah meraih medali Olimpiade seperti yang pernah dilakukan pada 2016.

Hanya saja dalam aturan negara, regulasi dana pensiun dikenal hanya untuk PNS, TNI, dan Polri. 

Di luar itu, termasuk para atlet yang tidak masuk dalam aturan pemberian dana pensiun.

"Kami kan tidak mau kalau [dana pensiun atlet] dilanjutkan ada temuan BPK dan minta dikembalikan uangnya, kan tidak enak. Sebab itu, di era sekarang ditata ulang. Grand desain olahraga yang selama ini tidak ada, dibuat. Supaya pengembangan atlet benar ada rumahnya."

"Mumpung ada revisi UU SKN, kesejahteraan atlet akan dibahas. Ini jadi salah satu kepedulian kami dan komisi X dengan salah satu poin utama revisi ini adalah untuk membuat formal kepentingan atlet melalui bentuk kesejahteraan atlet," jelas Gatot. (*)

Artikel ini telah tayang di cnnindonesia.com dengan judul "Makna Kemerdekaan bagi Atlet-atlet Indonesia", https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20200817095247-178-536454/makna-kemerdekaan-bagi-atlet-atlet-indonesia


Artikel Terkait