Dibalik itu semua, ternyata tak luput keluhan dari warga Bontang Kuala terkait belum adanya payung hukum yang melandasi peraturan pemerintah dalam melakukan suatu kegiatan pengembangan pariwisata.

Lurah Bontang Kuala Beber Keluhan Warga Terkait Rippda, Abdul Malik: Mestinya Memang Dilanjutkan

ANALITIK.CO, BONTANG - Sektor pariwisata bisa menjadi peluang yang sangat menjanjikan untuk menggenjot pendapatan asli daerah (PAD).

Seperti halnya di kota Bontang terkenal akan tempat-tempat pariwisatanya yang menarik banyak pengunjung. Tak hanya penduduk setempat, tapi juga wisatawan regional, nasional hingga manca negara.

Salah satu lokasi pariwisata yang juga menjadi potensi cagar budaya yakni kawasan Bontang Kuala. Selain dari pemandangan lautnya, penduduk lokal juga tak kalah menarik jika dibahas.

Dibalik itu semua, ternyata tak luput keluhan dari warga Bontang Kuala terkait belum adanya payung hukum yang melandasi peraturan pemerintah dalam melakukan suatu kegiatan pengembangan pariwisata.

"Terkait peraturan daerah yang sudah beberapa tahun lalu diperjuangkan mudah-mudahan bisa diselesaikan, supaya teman-teman dari dinas pariwisata, PUPR dan kami dengan warga, apabila ingin mengusulkan sesuatu ada dasarnya dan bisa digerakkan, karena kalau tak ada dasar pasti sulit mengembangkan pariwisata disini, ujar Lurah Bontang Kuala, Ronny, Lurah Bontang Kuala. 

Ronny mengungkapkan aset yang ada di kawasan Bontang Kuala sangat berkaitan dengan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang pengembangan pariwisata. Keberadaan aset seperti bangunan potensi cagar budaya ex kantor camat, fasilitas umum puskesmas pembantu, penjara, masjid, rumah adat, termasuk pedagang menjadi aset pemerintah yang saat ini dikelola oleh warga.

"Terus terang aset disini banyak dan warga pun mengakui keberadaannya, tapi secara administratif tidak ada tercatat di inventaris kota. Itu sebagai catatan supaya ketika kami mau melakukan renovasi atau pengembangan bisa lebih mudah. Karena memang di atas pesisir beda perlakuannya dengan yang di darat," terangnya.

Kata dia, warga siap untuk menyerahkan diri jika memang ada renovasi dari pemerintah. Hanya saja belum ada aturan yang menjadi dasar dilakukannya pembangunan.

Menurut informasi, beberapa cafe yang berdiri juga tidak semua warga BK asli yang memiliki, hanya 10-20 persen saja, selebihnya dari luar. Jangankan bicara pajak, untuk izin pun mereka tidak ada sama sekali.

"Warga sini butuh pembangunan, seperti perbaikan jalan dan sebagainya, mereka juga butuh perhatian lebih. Harapannya dari situ adalah pemasukan dan kontribusinya tapi yang kami temui faktanya tidak ada. Aturan itulah yang perlu dibentuk, disatukan suaranya dengan keinginan warga terkait kebijakan lokal untuk dituangkan sampai ke tingkat kota," bebernya.

Diketahui, pembahasan naskah akademik rencana induk pengembangan pariwisata daerah (Rippda) sudah sempat dibahas DPRD. Namun pembahasan rancangan peraturan daerah (Raperda) sempat ditunda dikarenakan agenda DPRD yang padat, ditambah lagi dengan pergantian anggota dewan dari periode lama ke periode baru.

Meski belum diketahui kelanjutannya, persoalan ini mendapat respon positif dari Wakil Ketua Komisi III DPRD Bontang, Abdul Malik.

"Fakta dilapangan, raperda pariwisata sudah masuk di Prolegda (program legislasi daerah), kenapa berkepanjangan secara detailnya saya belum ketahui, apakah karena faktor turunan kepariwisataan itu sendiri atau seperti apa, tapi menurut saya bagus," katanya.

"Mestinya (Raperda) memang dilanjutkan, karena pariwisata menjadi sektor unggulan pemerintah dan potensinya sangat besar. Dengan Perda itu nanti payungnya jelas baik sisi pengembangan dan perbaikannya," sambungnya. (advertorial)

Logo DPRD Bontang

Logo DPRD Bontang

Artikel Terkait