Komari, petani berumur 77 tahun itu pergi menghadap Yang Kuasa, teguh memegang janjinya.

Orbituari: Komari, Membela Tanah Air Sampai Akhir

ANALITIK.CO.ID, SAMARINDA - "Biar sampai saya mati, saya ndak akan pernah kasih tanah saya ke tambang", ujar Komari, petani kota Samarinda. Selasa dini hari, 23 Juni 2020,

Komari, petani berumur 77 tahun itu pergi menghadap Yang Kuasa, teguh memegang janjinya.

Sejak dua tahun terakhir, Komari mulai sakit-sakitan, kandung kemihnya sakit, tekanan darahnya tinggi, sering pusing dan sesak nafas menyakitkan.

Mungkin itu dikarenakan umurnya yang menua, mungkin juga karena rumahnya di kepung lubang tambang batubara. Pada 2012, Dinas Kesehatan kota Samarinda mengungkap sebanyak 80% penderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) berada di pedesaan karena dekat daerah tambang batubara. 

Komari adalah kita, yang memimpikan hidup sejahtera.  Mimpi yang membawanya pindah dari kampung halamannya di Jawa ke Samarinda pada 1990-an.

Di sana dia bertemu Nurbaeti, gadis asal Magelang yang baru 2 tahun tinggal di Samarinda mengikuti kakaknya. Nurbaeti, 17 tahun, berdagang sayur di pasar Segiri, Komari penarik becak, duda beranak satu, umur keduanya terpaut 11 tahun. Mereka memutuskan menikah.

Keduanya punya 5 anak, tapi tak punya rumah dan tanah. Mereka memutuskan menerima tawaran temannya merawat lahan  berawa-rawa seluas 3 hektar dengan imbalan 0,6 hektar.

Pada 1985 mereka pindah ke Makroman dan tingal di sebuah gubuk di tengah hutan. Belakangan mereka berhasil membeli 0,5 hektar sawah dan 1 hektar kebun untuk menghidupi 10 orang anaknya. 

Berkali-kali tanah Komari dan Nurbaeti itu ditawar perusahan tambang batubara.  Mereka menolak.

"Tanah  itu tak ada pasarnya, Barang lain, seperti  kambing, ayam ada pasarnya, sapi bisa dijual dan dibeli lagi. Tapi tanah, jika dijual, belum tentu kita mendapat yang sama", ujar Nurbaeti, diamini suaminya.

Mereka menyaksikan sawah-sawah di Makroman berubah kering, tidak subur, berkali-kali dihantam banjir lumpur batubara. 

November 2019, terakhir saya bertemu Komari. Ia terlihat ringkih saat bertutur menggunakan kromo inggil seperti biasa, halus dan pelan saat berbagi gelisahnya tentang sawahnya yang 'mati', sama sekali tak bisa ditanami karena tak ada air. 

Sawah dan kebun keluarga Komari dulunya subur, dia tinggal di Makroman, salah satu lumbung padi kota Samarinda. 

Prestasi Makroman berubah sejak Pemerintah menetapkannya sebagai wilayah keruk dua tambang batubara.

Banjir lumpur menghantam sawah dan rumah Komari serta tetangga-tetangganya hanya dua tahun setelah tambang beroperasi. Desa itu kemudian langganan banjir.

Penghasilan keluarga Komari dari kebun buah juga menghilang, buahnya habis dimakan hama.

"Rumah mereka di hutan, kalau hutan hilang yang datang ke sawah dan kebun", ujar Komari. 

Terakhir, air menghilang dari sumber air dan tepian sawah, membuat mereka bergantung air dari lubang tambang yang beracun. "kita kayak pengemis, minta-minta air dipompa dari lubang tambang", ujar Komari.

Lubang tambang itu kini ditingalkan begitu saja. Di seluruh samarinda, ada sekitar 349 lubang tambang yang ditinggalkan begitu saja dan membahayakan warga sekitarnya.

Hingga tahun 2020 ada 37  orang meninggal di lubang tambang. Tak satupun pemilik tambang yang dijerat hukum.

Pemerintah dimana saat situasi begitu? "Lah nggeniko mbak, mboten semerep", jawab Komari sambil tertawa. Itu dia mbak, saya tidak tahu, ujarannya dalam bahasa Jawa.

Pada 2012, dia bersama 12 warga Samarinda lainnya mengajukan gugatan Citizen Law Suit ke Pengadilan Negeri Samarinda, memperkarakan pemerintah lokal dan nasional yang ternyata menomersatukan pengusaha batubara, mengabaikan keselamatan keluarganya dan seluruh warga kota. Warga menang gugatan, pun banding di Pengadilan Negeri Samarinda.

Sayangnya gugatan digagalkan Mahkamah Agung dengan alasan sistem peradilan Indonesia tidak mengenal skema Citizen Law Suit. Keputusan yang merugikan warga Samarinda.’

Situasi itu tak menggoyahkan Komari. Ia memenuhi janjinya,  hingga kepergiannya dia menolak menjual tanahnya kepada perusahaan tambang. Tanah yang melayani kehidupan keluarganya , menyediakan pangan, air dan biaya membesarkan anak-anaknya, sejak pindah ke Makroman 35 tahun. Tugasnya sebagai warga negara purna sudah, membela tanah airnya sampai akhir. (*) 

Penulis : Siti Maimunah 

- Peneliti Sajogyo Institute 

- Mahasiswa The University of Passau, Fellow Marie Sklodowska-Curie/WEGO


Artikel Terkait