Kelangkaan dan tingginya harga bahan pokok yang tidak bisa dikendalikan Pemerintah dalam melindungi masyarakat menjadi sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Minyak Goreng Langkah, YLKI Sebut Disebabkan Permasalahan di Hulu yang Tak Dapat Ditangani Pemerintah

ANALITIK.CO.ID, BALIKPAPAN - Kelangkaan dan tingginya harga bahan pokok yang tidak bisa dikendalikan Pemerintah dalam melindungi masyarakat menjadi sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Ketua YLKK Tulus Abadi, mengatakan dalam Webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (Mipi) dengan tema "Kelangkaan Sembako dalam Perspektif Ilmu Pemerintahan" bahwa kelangkaan terhadap sembako khususnya minyak goreng yang sedang menjadi fenomena masyarakat kali ini disebabkan permasalahan di hulu yang tidak dapat ditangani Pemerintah.

"Memang ini dari sisi hulu ada persoalan yang sangat serius makanya YLKI melihat tindakan pemerintah dalam konteks minyak goreng ini hanya berkutat pada aspek hilir saja tidak bermain atau mengambil kebijakan di hulu," kata Tulus Abdi, Sabtu (19/3/202).

Pihaknya telah membuat petisi kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena lambatnya dalam bergerak menindak minyak goreng, YLKI ingin KPPU mempercepat penyelidikan terhadap dugaan adanya kartel.

"Mengapa ada dugaan kartel? karena industri sawit, industri minyak goreng, industri Crude palm oil (CPO) itu di "dikangkangi" oleh para pemain yang sama dan itu mencapai 50% lebih," kata Tulus.

Ia mengatakan ketika harga pasar internasional sedang tinggi yang saat ini terjadi mereka akan lebih senang dong menjual ke pasar internasional karena cuannya lebih besar otomatis insting dagangnya akan ke sana.

Bersekongkolnya salah satu pihak dalam menentukan harga yang sama, menyebabkan konsumen tidak bisa memilih barang, dan hal itu dilarang dalam Undang-Undang karena perdagangan tidak sehat.

"Mereka rame-rame akan menjual ke luar untuk diekspor. Nah kemudian mereka bersekongkol menentukan harga yang sama dan kemudian itulah ada dugaan kartel," tuturnya.

Seperti diketahui pada akhir tahun 2021 kemarin harga minyak goreng yang naik, pemerintah mengatakan hanya sampai Natal dan Tahun Baru saja, namun kenaikan harga masih terasa oleh masyarakat hingga sekarang.

"Pilihan pait bagi konsumen ketika HET barang murah tapi tidak ada stok, tapi setelah HET di cabut barangnya banyak tapi mahal, nah ini disimpulkan ada dugaan kartel atau mafia," katanya.

Pihaknya pun mendorong agar Pemerintah Pusat dapat membentuk Satgas Anti Mafia Minyak Goreng, agar dugaan terhadap Mafia minyak goreng ini dapat diberantas dari masyarakat.

"Kalau dulu ada Satgas Anti Mafia Gas, Satgas Anti Mafia Obat-obatan, kenapa sekarang tidak ada Satgas Anti Mafia Minyak Goreng tidak dibentuk? Nah ini yang kami perhatikan sebagai lembaga konsumen dan pemerhati kebijakan publik," katanya.

Disebutkan ada 3 komoditas yang tidak bisa disentuh kebijakan, yakni soal tembakau, batu bara, dan sawit, sebab ketiga ini melibatkan oligarki yang sangat kuat di legislatif, eksekutif, dan partai politik yang sangat sulit untuk diotak-atik.

Minyak goreng di Indonesia menjadi eksportir terbesar di dunia, dengan penghasil CPO terbesar di dunia, namun ternyata dalam kebijakan Indonesia kalah dengan Malaysia karena kebijakan CPO warga sipil di internasional ditentukan oleh Malaysia bukan Indonesia.

"Dalam komoditas pangan yang lain itu semakin kelihatan rapuhnya kita karena kita pertama bergantung kepada impor pangan yang sangat tinggi, kita tergantung kepada Amerika Serikat, kita tergantung bahkan sama Rusia, dan juga sama Ukraina dan negara lain," katanya.

Menurut Tulus hal ini semua akan menjadi penentu agar masyarakat mendapatkan pasokan itu, dan sebagai kebijakan publik itu adalah hak konstitusi hak bernegara, sebab bahan pangan adalah bahan yang mendasar bagi masyarakat.

"Sejak dari era Presiden Soekarno sampai Presiden Jokowi sekalipun saat ini belum mampu memasok kebutuhan pangan secara baik, karena aspek ketahanan pangan yang sangat rapuh," bebernya.

Indonesia masih terpaku pada sistem impor bahan baku dari luar negeri, YLKI pun menanggap pemerintah daerah juga akhirnya malas mengembangkan komoditas pangan di Indonesia. (*)


Artikel Terkait