Dengan gampangnya pembentukan sebuah produk hukum seperti UU Cipta Kerja ini, jika terdapat penolakan bisa diselesaikan melalui MK.

Penolakan UU Cipta Kerja, Dosen Fakultas Hukum Unmul Harry Setya Nugraha: Ada 3 Point Utama

ANALITIK.CO.ID, SAMARINDA - Gelombang penolakan dari disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja tak hanya memicu gerakan pada kaum buruh mahasiswa dan aktivis semata.


Sebab para kaum intelektual yang tergabung dalam Anggota Aliansi Akademisi Menolak UU Cipa Kerja juga getol menyuarakan aksi penolakannya.

Seperti Harry Setya Nugraha seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda dalam siaran tertulisnya yang diterima media ini pada, Sabtu (10/10/2020) malam tadi.

Kata Herry, banyaknya aksi penolakan yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia dan berujung pada tindakan represif aparat, maupun para pengrusakan fasilitas publik sungguh disesalkan.

"Seperti mengulang cerita yang sudah-sudah, kini pemerintah dan berbagai pihak mulai memberikan narasi-narasi untuk menyampaikan penolakannya terhadap UU Cipta Kerja melalui kanal pengujian UU (Judicial Review) di MK (Mahkamah Konstitusi)," ujar Herry.

Berkenaan dengan hal tersebut, lanjutnya, selain demonstrasi langkah-langkah konstitusional memang dapat ditempuh setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya karena berlakunya UU Cipta Kerja dengan menganjukan Judicial Review baik secara formal maupun materil kepada MK.

"Tetapi begitu disayangkan ketika makin ke sini, proses pembentukan UU seakan membuat MK tak lebih seperti tong sampah," tegasnya.

Jauh dari kodratnya sebagai the guardian of constitution. 

Dengan gampangnya pembentukan sebuah produk hukum seperti UU Cipta Kerja ini, jika terdapat penolakan bisa diselesaikan melalui MK.

Menurut Herry, statment seorang pentolan anggota DPR RI yang mengatakan penolakan disahkannya UU Cipta Kerja ini ke MK merupakan sebuah ungkapan politis yang coba menjadikan dasar konstitusional sebagai basisnya.

"Tak salah kemudian bayak pihak yang pada akhirnya beranggapan bahwa makin ke sini jalannya pemerintahan semakin terasa aroma orde barunya," imbuhnya.

Dari penolakannya ini, Herry menyebut ada tiga point utama.

Pertama, yakni tidak bijak sekiranya pembentuk UU terus menjadikan MK sebagai kanal pembuangan terhadap UU yang mendapat penolakan publik.

Kerja-kerja pembentukan UU seharusnya dapat meminimalisir agar hadirnya UU tidak lantas kemudian berakhir di MK.

Kedua, ialah tidak semua penolakan atas hadirnya suatu UU itu terjadi oleh karna UU atau bertentangan dengan UUD 1945.

Terlebih terhadap nilai-nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan bahkan nilai keadilan yang belum sepenuhnya terinternalisasi dalam UUD 1945 sebagai nilai instrumental.

"Ini juga yang membuat tidak jarang proses-proses pengujian formal dan materil kandas atau gagal di MK," sambungnya.

Point terakhir, para anggota parlemen pembentuk UU seharusnya sadar dan membuka mata bahwa semakin banyak kerja MK dalam menguji sebuah UU merupakan bentuk kegagalan pembentuk UU untuk menghadirkan produk-produk UU yang partisipatif, responsif dan sejalan dengan apa yang dikehendaki rakyat.

"Dapat diketahui, terhitung sejak MK berdiri pada tahun 2003 hingga saat ini (2020), tercatat sebanyak 1403 perkara pengujian UU diregistrasi di MK dengan jumlah UU yang diuji sebanyak 708 UU.

Tentu ini sungguh sangat disayangkan," pungkasnya. (*)


Artikel Terkait