Bukan Sekadar Beton: Menyingkap Jaring Politik di Balik Pembangunan Infrastruktur
Pembangunan infrastruktur seringkali dipandang sebagai simbol kemajuan dan pendorong ekonomi. Namun, di balik megaprojek jalan, jembatan, atau bandara, tersembunyi jaring laba-laba politik yang kompleks dan penuh kepentingan. Infrastruktur bukan sekadar urusan teknis; ia adalah arena pertarungan kekuasaan, alokasi sumber daya, dan pembentukan citra.
Bagi politisi, infrastruktur adalah mesin ampuh untuk mendulang popularitas dan legitimasi. Proyek-proyek besar menjadi janji kampanye yang menarik, simbol konkret dari kinerja pemerintah, dan warisan yang dapat dibanggakan. Lebih dari itu, infrastruktur strategis dapat meningkatkan daya tawar politik suatu wilayah atau bahkan menjadi alat kendali atas sumber daya dan mobilitas.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur memang dapat menggerakkan roda ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mempermudah akses. Namun, dampak sosialnya seringkali dua mata pisau: penggusuran warga, kerusakan lingkungan, hingga potensi ketidakmerataan manfaat yang hanya dinikmati segelintir kelompok atau wilayah tertentu.
Namun, di balik gemerlap proyek, tersimpan risiko besar: korupsi yang merajalela dalam pengadaan barang dan jasa, pembengkakan anggaran (cost overrun), serta potensi jeratan utang negara yang memberatkan generasi mendatang. Praktik kronisme, di mana proyek diberikan kepada kroni atau perusahaan afiliasi, juga kerap terjadi, mengorbankan kualitas dan efisiensi demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Pada akhirnya, pembangunan infrastruktur jauh lebih dari sekadar urusan teknis dan material. Ia adalah cerminan dari dinamika kekuasaan, alokasi sumber daya, dan arah kebijakan suatu negara. Memahami politik di baliknya adalah kunci untuk memastikan setiap tiang pancang, setiap jengkal jalan, benar-benar melayani kepentingan publik yang lebih luas, bukan hanya ambisi atau kantong segelintir pihak.