Berita  

Implementasi Undang-Undang ITE dalam Kebebasan Berekspresi

UU ITE: Pedang Bermata Dua bagi Suara Digital

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hadir sebagai payung hukum di era digital, dengan tujuan mulia melindungi masyarakat dari kejahatan siber, penipuan online, serta penyalahgunaan informasi, termasuk mencegah pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks. Ini penting untuk menciptakan ruang digital yang aman dan beretika.

Namun, dalam implementasinya, UU ITE kerap menjadi sorotan tajam, terutama dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Beberapa pasal, khususnya yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian, seringkali disalahgunakan. Frasa yang multitafsir atau dikenal sebagai "pasal karet" menyebabkan kriminalisasi terhadap kritik, opini, bahkan sekadar ungkapan kekecewaan yang disampaikan di ruang publik digital.

Hal ini menimbulkan efek gentar (chilling effect) di kalangan masyarakat, mengurangi partisipasi publik, dan mengancam esensi demokrasi di ruang digital. Jurnalis, aktivis, hingga warga biasa tak jarang menjadi korban, dijerat hukum karena menyampaikan pandangan yang dianggap menyinggung pihak tertentu.

Dilema antara perlindungan dan pembatasan ini menuntut keseimbangan. Revisi UU ITE yang baru-baru ini dilakukan adalah langkah positif untuk mengurangi potensi kriminalisasi dan memperjelas tafsir pasal-pasal kontroversial. Namun, keberhasilan reformasi ini sangat bergantung pada interpretasi dan implementasi yang bijak oleh aparat penegak hukum.

Kebebasan berekspresi adalah pilar demokrasi, namun ia juga memiliki batas untuk mencegah kerusakan sosial. Tantangannya adalah memastikan UU ITE menjadi alat perlindungan yang efektif dari kejahatan digital, bukan pembungkam kritik atau suara publik, sehingga ruang digital tetap dinamis, kritis, dan bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *