Jalan Baru Keadilan: Mengurai Kekerasan dengan Pendekatan Restoratif
Kasus kekerasan seringkali meninggalkan luka mendalam, tidak hanya bagi korban, tetapi juga pelaku dan komunitas. Sistem peradilan konvensional (retributif) umumnya berfokus pada penentuan kesalahan dan pemberian hukuman. Namun, pendekatan ini kerap abai terhadap kebutuhan korban akan pemulihan dan akuntabilitas pelaku yang lebih bermakna. Di sinilah Sistem Pengadilan Restoratif hadir sebagai angin segar.
Pendekatan restoratif memandang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hubungan antarmanusia, bukan semata-mata pelanggaran hukum negara. Dalam konteks kekerasan, peran sistem ini sangat krusial:
-
Fokus pada Korban (Victim-Centric): Sistem restoratif menempatkan korban di pusat proses. Mereka diberikan ruang untuk menyampaikan dampak kekerasan yang dialami, kebutuhan mereka akan pemulihan, dan harapan terhadap penyelesaian. Ini memberdayakan korban dan membantu proses penyembuhan emosional.
-
Akuntabilitas yang Bermakna bagi Pelaku: Berbeda dengan hukuman yang kadang terasa impersonal, pendekatan restoratif mendorong pelaku untuk memahami konsekuensi langsung dari tindakan mereka terhadap korban dan komunitas. Melalui dialog terfasilitasi, pelaku diajak untuk mengambil tanggung jawab secara penuh, merasakan empati, dan berkomitmen untuk memperbaiki kerusakan.
-
Memperbaiki Kerusakan (Repairing Harm): Tujuan utama bukan menghukum, melainkan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Ini bisa berupa permintaan maaf langsung, restitusi (ganti rugi), layanan komunitas, atau tindakan lain yang disepakati bersama untuk memulihkan kerugian fisik, emosional, dan material.
-
Keterlibatan Komunitas: Lingkungan sosial seringkali turut terdampak oleh kekerasan. Sistem restoratif melibatkan anggota komunitas, keluarga, dan pihak terkait lainnya untuk mendukung proses pemulihan, menciptakan lingkungan yang aman, dan mencegah kekerasan berulang.
-
Mencegah Pengulangan (Prevention): Dengan mengatasi akar masalah, mendorong perubahan perilaku pelaku, dan membangun kembali hubungan yang rusak, pendekatan restoratif berpotensi lebih efektif dalam mengurangi tingkat residivisme (pengulangan kejahatan) dibandingkan hanya dengan penjara.
Singkatnya, pengadilan restoratif menawarkan jalur keadilan yang lebih holistik dan manusiawi untuk kasus kekerasan. Ia tidak menggantikan sistem konvensional sepenuhnya, melainkan menjadi pelengkap atau alternatif yang kuat di kasus-kasus tertentu, dengan fokus pada penyembuhan, akuntabilitas mendalam, dan pembangunan kembali harmoni sosial. Ini adalah langkah maju menuju keadilan yang benar-benar memulihkan.