Keberpihakan Media dalam Kontestasi Politik Nasional

Bukan Sekadar Berita: Menguak Keberpihakan Media di Arena Politik Nasional

Dalam setiap kontestasi politik nasional, media massa diharapkan menjadi pilar keempat demokrasi, penyedia informasi objektif yang mencerahkan publik. Namun, realitasnya seringkali jauh dari ideal. Alih-alih netral, media acapkali menunjukkan keberpihakan yang kasat mata, mengubah perannya dari pengawas menjadi pemain.

Mengapa Media Berpihak?

Keberpihakan media bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks berbagai faktor. Yang paling dominan adalah kepemilikan media itu sendiri. Banyak konglomerat media memiliki afiliasi politik atau kepentingan bisnis yang terkait dengan salah satu kontestan. Hal ini secara langsung atau tidak langsung memengaruhi arah kebijakan redaksi. Selain itu, tekanan politik dan ekonomi dari pihak-pihak berkepentingan, serta ideologi internal jurnalis atau pemimpin redaksi, turut membentuk narasi yang disajikan.

Manifestasi Keberpihakan

Keberpihakan media termanifestasi dalam berbagai bentuk:

  1. Framing (Pembingkaian): Cara media memilih sudut pandang, menonjolkan aspek tertentu, atau mengabaikan lainnya, demi membangun citra positif atau negatif terhadap kandidat.
  2. Seleksi Berita: Memilih isu yang diangkat dan mengabaikan isu lain yang mungkin merugikan pihak yang didukung.
  3. Porsi Liputan: Alokasi waktu siar atau ruang berita yang tidak seimbang antara kandidat atau partai.
  4. Diksi dan Tone: Penggunaan bahasa yang tendensius, baik secara eksplisit maupun implisit, untuk memuji atau menyerang.

Dampak pada Demokrasi

Dampak keberpihakan media sangat signifikan. Pertama, ia mengikis kepercayaan publik terhadap media itu sendiri. Masyarakat menjadi skeptis dan sulit membedakan fakta dari opini yang diselubungi. Kedua, ia menciptakan polarisasi opini, di mana publik hanya terpapar pada informasi yang menguatkan prasangka mereka, menghambat dialog konstruktif. Ketiga, dan yang paling krusial, keberpihakan media mencederai kualitas demokrasi, karena publik tidak mendapatkan informasi yang utuh dan seimbang untuk membuat keputusan politik yang rasional dan independen.

Tantangan dan Harapan

Menyikapi fenomena ini, publik dituntut untuk lebih kritis dan cakap literasi media. Membandingkan berbagai sumber, mempertanyakan narasi, dan mencari informasi dari platform yang beragam adalah kunci. Bagi media, tantangannya adalah kembali pada khittah jurnalisme: independensi, objektivitas, dan keberpihakan tunggal pada kepentingan publik, bukan pada kepentingan politik atau bisnis sempit. Hanya dengan begitu, media dapat benar-benar menjadi pilar demokrasi yang mencerahkan, bukan sekadar alat propaganda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *