Panggung Politik: Ketika Debat Lebih Menggelegar daripada Menggagas Solusi
Debat politik, yang seharusnya menjadi arena adu gagasan dan visi untuk masa depan, kini seringkali berubah menjadi tontonan drama yang minim substansi. Publik disuguhkan pertunjukan emosi, serangan personal, dan jargon-jargon kosong, jauh dari diskusi mendalam tentang kebijakan dan solusi konkret. Mengapa demikian?
1. Dominasi "Soundbite" dan Viralitas:
Di era media sosial dan siklus berita 24 jam, pencarian "soundbite" yang viral dan momen "gotcha" lebih diutamakan daripada analisis kebijakan yang mendalam. Informasi yang cepat, ringkas, dan seringkali emosional menjadi raja, mendorong politisi untuk tampil dramatis demi menarik perhatian dan liputan media.
2. Strategi Politik Berbasis Emosi:
Banyak politisi beradaptasi dengan fokus bergeser dari menawarkan solusi berbasis data menjadi menyerang karakter lawan, membangkitkan emosi pemilih, atau menyederhanakan isu kompleks menjadi dikotomi hitam-putih. Tujuannya adalah memobilisasi pendukung dan mendiskreditkan lawan, bukan meyakinkan dengan argumen rasional.
3. Ekspektasi Publik dan Format Debat:
Format debat yang padat waktu dan ekspektasi publik akan "hiburan" turut berkontribusi. Penonton seringkali lebih tertarik pada konfrontasi sengit dan retorika berapi-api daripada paparan data dan strategi jangka panjang yang mungkin dianggap membosankan. Ini menciptakan insentif bagi kandidat untuk lebih menjadi penghibur daripada pemikir.
Dampaknya:
Pergeseran ini menghasilkan publik yang semakin terpolarisasi dan kurang terinformasi. Debat kehilangan fungsinya sebagai platform edukasi dan penentu arah bangsa, menjadi sekadar panggung sandiwara yang bising. Kita merindukan debat yang menggali akar masalah dan mencari titik temu, bukan sekadar memicu drama.