Politik Kebudayaan: Ketika Warisan Budaya Jadi Komoditas Politik

Warisan Budaya: Dari Jati Diri ke Komoditas Politik

Warisan budaya adalah cerminan jiwa suatu bangsa, penjaga identitas, dan jembatan ke masa lalu. Ia semestinya menjadi perekat sosial, sumber inspirasi, dan kebanggaan bersama. Namun, dalam dinamika politik modern, warisan budaya seringkali beralih fungsi: dari nilai intrinsik menjadi alat tawar, bahkan komoditas politik yang diperdagangkan.

Transformasi ini terjadi ketika entitas politik—baik negara, kelompok elit, maupun korporasi—melihat potensi warisan budaya sebagai sumber daya strategis. Ia bisa dimanfaatkan untuk menarik turis dan investasi (ekonomi), membangun citra nasional (soft power), mengklaim kedaulatan di panggung internasional, atau bahkan memobilisasi dukungan domestik dengan membangkitkan sentimen primordial. Pengakuan UNESCO, misalnya, seringkali menjadi trofi politik yang digunakan untuk validasi dan prestise.

Dampaknya multi-dimensi. Pertama, esensi dan makna asli warisan budaya dapat tereduksi, hanya menjadi "kulit" atau "atraksi" tanpa kedalaman. Kedua, otentisitasnya terancam oleh upaya standardisasi atau komersialisasi yang berlebihan. Ketiga, para penjaga tradisi dan komunitas adat yang merupakan pemilik sah warisan tersebut seringkali terpinggirkan, hak-hak mereka diabaikan demi kepentingan yang lebih besar. Konflik antarnegara atas klaim budaya pun tak terhindarkan, merusak semangat persahabatan dan saling menghargai.

Memang, warisan budaya memiliki potensi ekonomi dan politik yang tak terbantahkan. Namun, adalah tugas kita untuk memastikan bahwa pemanfaatannya tidak sampai menggadaikan jiwa dan identitasnya. Diperlukan kesadaran kritis dan tata kelola yang etis agar warisan budaya tetap lestari sebagai sumber jati diri dan kearifan, bukan sekadar komoditas yang diperjualbelikan demi ambisi politik sesaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *