Polarisasi Politik: Akankah Demokrasi Gugur di Medan Perpecahan?
Polarisasi politik kini menjadi badai yang menguji ketahanan banyak negara demokratis. Fenomena ini bukan sekadar perbedaan pendapat, melainkan perpecahan masyarakat ke dalam kubu-kubu ideologis yang semakin ekstrem, menjadikan titik tengah dan dialog konstruktif kian langka. Pertanyaannya, akankah perpecahan ini menyeret demokrasi ke jurang kehancuran?
Penyebabnya kompleks: algoritma media sosial yang menciptakan "gema kamar" (echo chamber), berita palsu yang meracuni informasi, serta politik identitas yang diperuncing perbedaan etnis, agama, atau kelas. Kesenjangan ekonomi dan frustrasi sosial juga kerap menjadi pupuk subur bagi ekstremisme politik, mengubah lawan menjadi musuh.
Dampak pada demokrasi sangat nyata. Kebuntuan legislatif, melemahnya institusi negara karena politisasi berlebihan, dan erosi kepercayaan publik terhadap proses politik adalah beberapa gejala awalnya. Ketika kompromi dianggap pengkhianatan, dan lawan politik dipandang sebagai musuh yang harus dihancurkan, ruang untuk solusi bersama mengecil, bahkan lenyap. Legitimasi hasil pemilu pun bisa dipertanyakan, membuka celah bagi instabilitas dan potensi otoritarianisme yang menjanjikan "ketertiban" dengan mengorbankan kebebasan.
Apakah demokrasi pasti menjadi korban? Tidak harus. Namun, ini membutuhkan kesadaran kolektif dan upaya nyata. Pendidikan kritis, literasi digital untuk memerangi disinformasi, memperkuat media independen, serta kepemimpinan yang berani merangkul perbedaan dan mempromosikan dialog adalah kunci. Demokrasi bukanlah sistem yang otomatis; ia adalah taman yang harus terus dirawat agar tidak layu dimakan bibit perpecahan. Jika tidak, "gugurnya" demokrasi mungkin bukan lagi pertanyaan, melainkan keniscayaan yang pahit.