Mengapa Politik Sering Mengabaikan Kaum Marginal?

Ketika Politik Membungkam Suara: Mengapa Kaum Marginal Sering Terpinggirkan?

Politik seharusnya menjadi arena inklusif yang mewakili seluruh elemen masyarakat. Namun, ironisnya, suara kaum marginal – mereka yang miskin, minoritas, atau termarjinalkan secara sosial-ekonomi – seringkali tenggelam, bahkan diabaikan dalam wacana dan kebijakan publik. Mengapa demikian?

Salah satu alasan utama adalah kalkulasi politik yang pragmatis. Partai dan politisi cenderung berfokus pada kelompok pemilih yang besar, terorganisir, dan memiliki daya tawar politik atau ekonomi yang signifikan. Kaum marginal, meski jumlahnya bisa jadi besar, seringkali kurang terorganisir secara politik, memiliki tingkat partisipasi pemilu yang rendah, atau tidak memiliki kekuatan ekonomi untuk melakukan lobi efektif atau donasi kampanye. Akibatnya, mereka tidak dipandang sebagai "investasi" politik yang menguntungkan dalam siklus elektoral.

Selain itu, kurangnya representasi dan akses terhadap platform publik menjadi penghalang. Isu-isu yang dihadapi kaum marginal jarang mendapat sorotan media yang memadai, dan seringkali tidak ada tokoh atau lembaga yang secara konsisten dan efektif menyuarakan kepentingan mereka di tingkat pembuat kebijakan. Ini menciptakan siklus di mana kebutuhan mereka tidak terartikulasi dengan jelas, sehingga mudah diabaikan dalam agenda politik.

Terakhir, kompleksitas isu vs. keinginan "quick wins". Isu-isu yang dihadapi kaum marginal cenderung kompleks, multidimensional, dan membutuhkan solusi jangka panjang serta struktural. Namun, politik modern seringkali didominasi oleh siklus elektoral pendek dan keinginan untuk "quick wins" atau kebijakan populer yang mudah dipahami dan ‘dijual’ kepada pemilih secara umum. Solusi kompleks untuk masalah marginalisasi tidak selalu populer atau mudah diimplementasikan dalam kerangka waktu politik yang singkat.

Singkatnya, pengabaian kaum marginal dalam politik bukanlah semata-mata karena niat buruk, melainkan hasil dari kombinasi faktor struktural, pragmatisme politik, dan kurangnya daya tawar serta representasi yang efektif. Mengubah realitas ini memerlukan kesadaran kolektif, penguatan organisasi kaum marginal, dan komitmen politik yang lebih mendalam terhadap keadilan sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *